Selamat Datang Di Blog Penuh Informasi, Selamat Membaca !!!

Rabu, 31 Agustus 2016

Cerita Pendek

Di balik balkon setinggi pinggang orang dewasa itu, Irene menyandarkan perutnya yang rata. Siswi kelas 3 itu berada di lantai dua SMA Pahlawan. Dia berkulit putih pucat, berambut panjang dan selalu dikucir kuda. Dia sendirian, memandang laki-laki tinggi berkulit kecoklatan yang sedang bermain basket di lapangan. Kedua tangan Irene terlipat di atas balkon, membuang napas. Sudah hampir tiga tahun, Irene seringkali memandang laki-laki itu. Namanya Aliandra, namun Irene senang memanggilnya dengan nama Ali. Irene membuang napas lagi. Sebenarnya baru sekali Ali mengajaknya bicara. Itu pun dua tahun lalu saat mereka berdua masih sekelas, saat Ali meminta selembar kertas padanya. Irene masih sangat mengingat kejadian itu. Ali yang duduk di bangku hadapannya, berbalik dan berkata, “Boleh bagi kertas, nggak?” Kemudian dengan sedikit gugup, Irene menyobek kertas dari bukunya dengan rapi, kemudian memberikannya pada Ali. Lalu Ali berkata, “Makasih.” Itu saja. Beranjak ke kelas 2, ternyata mereka tidak sekelas, walaupun sama-sama masuk jurusan IPA. Sejak saat itu, mereka tidak pernah berbicara lagi. Meskipun begitu, Irene masih menyukainya hingga sekarang. Selain percakapan itu, Irene juga masih sangat ingat satu kejadian lain bersama Ali. Satu bulan sejak mereka menjadi siswa baru SMA Pahlawan, seperti biasa, Ali mulai sering bermain basket dengan teman-teman sekelasnya yang baru. Saat itu sedang jeda pelajaran olahraga, dan Irene sedang duduk beristirahat bersama salah satu temannya, Hilde, di pinggir lapangan. Mereka berdua sedang asyik mengobrol. Sampai-sampai, Irene tidak sadar sebuah bola basket sedang melayang ke arahnya, hingga banyak orang yang berteriak padanya untuk segera pergi. Akan tetapi, tepat sebelum bola itu mengenai wajah Irene, seorang laki-laki melompat dari sisi kanannya hingga jatuh jauh ke sisi kirinya. “Ndra, lo nggak pa-pa?” Sontak hampir seluruh siswa mengerubungi Aliandra yang ternyata terluka hingga mengeluarkan darah, akibat gesekan tanah saat dia jatuh tadi. Pak Haryanto selaku guru olahraga langsung memerintahkan seluruh siswa untuk masuk kelas, sementara Ali dia bopong menuju Unit Kesehatan Sekolah (UKS). Sejak kejadian itu, Irene ingin sekali berbicara dengan Ali, berterima kasih padanya. Namun Irene memiliki sifat pemalu. Dia ingin mengucapkan terima kasih secara langsung, namun Ali selalu dikerubungi teman-temannya. Selain jago bermain basket, Ali juga dikenal baik oleh semua orang. Itulah sebabnya banyak yang ingin menjadi temannya. Irene pun semakin merasa minder. Irene tidak pernah melupakan dua kejadian itu. Dia juga tidak mau banyak berharap. Mungkin Ali bahkan tidak tahu namanya. Melihat teman-temannya, Irene semakin merasa kalau Ali semakin jauh untuk diraih. Beberapa lama kemudian, tidak terasa bel tanda istirahat berakhir pun berbunyi. Irene dan seluruh siswa yang ada di luar kelas segera masuk ke kelas masing-masing, termasuk Ali dan teman-temannya. — Siang itu, Irene melakukan kebiasaannya lagi. Bersandar di balkon sambil memandang permainan basket di lapangan. Akan tetapi, dia heran, kali ini, yang bermain basket bukan siswa kelas 3, melainkan siswa kelas 1. Ali pun tidak ada dalam grup yang sedang bermain basket itu. Irene sempat celingak-celinguk, berdinjit, mencari-cari sosok pemain basket favoritnya itu di lorong-lorong lantai bawah. Mungkin dia sedang di kantin. Atau bahkan sedang absen masuk sekolah hari ini. Berbagai macam kemungkinan tersebut terngiang-ngiang di kepala Irene, sampai sebuah suara yang begitu dikenalnya menyapanya dari belakang. Tanpa menerka-nerka, Irene langsung berbalik, kemudian terkejut bukan kepalang. “Irene, kan?” Ali sedang berdiri di sampingnya, memandangnya dengan kedua alis yang dinaikkan. Irene benar-benar tidak percaya, orang yang dia cari ternyata ada di sebelahnya sedari tadi. “Kenalin dong, gue Aliandra. Gue kelas 3 IPA 2,” kata Ali, menyodorkan tangannya. Berusaha untuk tidak canggung, Irene menjabat tangannya. “Lo kelas 3 IPA 1, kan ya?” tanya Ali. Irene mengangguk malu-malu. Dia tidak ingin Ali tahu mengenai perasaannya yang saat ini begitu bahagia. Setelah itu, percakapan tidak berlanjut lagi, namun Ali masih berdiri di sampingnya. Irene pun memberanikan diri untuk bertanya, “Ada apa?” Tatapan Ali nampak kosong memperhatikan permainan basket para junior di lapangan. Dia kemudian menunduk malu-malu, kemudian berkata, “Gue mau nanya sesuatu, tapi kayaknya lo bakal kaget denger pertanyaan gue.” Irene mengerutkan dahinya. Beragam spekulasi mulai muncul di kepalanya. Dia pun bertanya dengan nada dibuat tidak penasaran, “Nanya apa?” “Kalau gue nanya…” kata Ali dengan ragu. Sikap berdirinya mulai nampak gelisah. “Kira-kira lo mau nerima gue jadi cowok lo apa nggak, lo bakal jawab apa?” Irene sontak kaget dengan pertanyaan itu. Jantungnya berdebar kencang. Kedua lututnya seperti lemas. Kedua matanya membesar, tidak percaya akan apa yang didengarnya. “Gue tau lo pasti kaget banget. Lo juga pasti nggak bakal percaya. Tapi gue emang suka sama lo, Ren,” kata Ali bertubi-tubi, berusaha meyakinkan Irene. Irene tidak menyangka, orang yang dia sukai selama ini diam-diam menyukainya juga. Irene hampir merasa bahwa dia sedang bermimpi. Akan tetapi, saat dia melihat ke belakang dan sekitarnya, semua nampak normal. Para siswa sedang berlalu lalang di koridor, mengobrol, tidak ada yang aneh. Saat Irene menoleh pada Ali lagi, dia pun masih melihat tatapan sebuah harapan. “Jadi?” tanya Ali, meminta sebuah kepastian. Irene tentu menerimanya. Hari itu pun resmi menjadi hari jadi mereka. — Sudah hampir satu bulan, Irene dan Ali menjadi sepasang kekasih. Akan tetapi, Irene merasa bahwa tidak ada hal berbeda yang terjadi dalam kehidupannya. Setelah Ali memintanya untuk menjadi kekasihnya hampir satu bulan yang lalu, Irene masih saja menjalani aktivitasnya seperti biasa. Tidak seperti gadis lain yang sedang menjalin hubungan dengan kekasihnya. Setelah hampir satu bulan itu, Irene masih berangkat ke sekolah sendirian, makan di kantin sendirian, pulang sekolah sendirian, mengerjakan tugas sendirian, tanpa kata-kata manis atau bahkan sapaan dari Ali. Ali tidak pernah menanyakan kabarnya, atau bahkan menegurnya. Irene tidak berani bergerak lebih dulu, karena dia takut Ali menganggapnya gadis murahan. Sampai suatu malam, Irene tidak bisa tidur karena memikirkan apa yang sebenarnya Ali lakukan terhadapnya. Setahunya, sepasang kekasih tidak berperilaku diam-diaman seperti ini. Setelah berpikir panjang, Irene pun mengambil ponselnya dan memberanikan diri mengirim pesan singkat untuk Ali. “Al, maaf ganggu malam2 begini. Aku cuma mau nanya, sebenarnya kita ngelakuin apa? Sejak kamu nembak aku, kamu nggak pernah lagi bicara sama aku.” Tidak lama setelah pesan itu terkirim, ponsel Irene berdering. Panggilan dari Ali. Jantung Irene pun berdebar kencang lagi. Dia langsung menjawabnya. “Irene?” Irene menjawab dengan dengungan. Dia mulai menyukai suara Ali menyebut namanya. “Maafin aku, ya. Aku selalu keganggu sama kegiatan aku. Ini pertama kalinya aku pacaran, jadi aku masih dikit canggung,” ujar Ali dari seberang telepon. Irene terkejut. Dia baru tahu bahwa dirinya adalah pacar pertama Ali. Dia jadi merasa bersalah. “Maafin aku, Ren. Aku udah bikin kamu bingung sama hubungan kita.” “Nggak pa-pa, Al, aku ngerti kok,” jawab Irene dengan nada lembut. “Gini aja, deh. Besok kan hari jadian kita sebulan, tuh. Aku jemput kamu jam 7 malem, boleh nggak? Aku mau ajak kamu makan bareng buat ngerayain.” Sebuah senyuman lebar pun tersungging di wajah Irene. Dia menatap keluar jendelanya yang menampilkan sinar bulan penuh. Kali ini dia benar-benar tidak bisa tidur. — Tepat pukul 18.30, Irene sudah wangi, bersih, dan cantik dengan pakaian terbaiknya. Sudah lama sekali dia tidak jalan-jalan keluar selain dengan keluarganya. Hal itu membuatnya kaku saat memilih pakaian tadi, sampai habis waktu setengah jam. Akhirnya sebuah kaos putih, cardigan panjang warna peach, dengan rok selutut kuning menjadi pilihannya. Tidak lupa sebuah jepitan manis disisipkan pada sisi kanan rambutnya yang digerai. Saat sang Ibu melihatnya, dia benar-benar dibuat terpukau. Anaknya nampak begitu manis dan bahagia, senyam-senyum tanpa henti. Saat ditanya, Irene sengaja tidak mau langsung memberi tahu. Biar Ali saja yang mengatakannya saat laki-laki itu sampai nanti. Pukul 19.00, Irene duduk di pinggiran tempat tidurnya, menatap ke luar jendela. Berkali-kali dia mengecek jam di dinding kamar, berusaha menenangkan diri. Ali pasti datang, dia hanya terlambat sedikit, pikirnya. Pukul 19.30, Irene merebahkan dirinya di atas tempat tidur, hampir menyerah mempertahankan pemikiran positifnya. Dia mulai khawatir bahwa Ali melupakan janjinya. Dia pun mengecek ponsel, tidak ada pesan ataupun notifikasi dari Ali. Lagi-lagi, Irene masih merasa malu untuk bergerak lebih dahulu. Pukul 21.00, Irene terbangun dari tidurnya. Dia masih memakai cardigan warna peach dan rok kuning selututnya, dalam posisi meringkuk di atas tempat tidurnya. Dia mengecek ponsel, tidak satu pun kabar dari Ali. Dia pun bangkit kemudian keluar dari kamarnya, lalu mendapati Ibunya sedang santai menonton TV. “Ibu, tadi ada tamu buat Irene?” “Nggak ada, sayang,” jawab Ibunya dengan raut bingung campur khawatir. “Kamu nggak pa-pa?” Kedua bahu Irene turun melemas. Dia hanya tersenyum pada Ibunya dan kembali memasuki kamar. Dia berjalan perlahan menuju ponselnya dan meratapinya. Dia begitu sedih, amat sedih, namun dia tidak bisa menangis. Akhirnya dia memutuskan untuk keluar, mencari udara segar, untuk menenangkan diri. Irene berjalan menyusuri trotoar, memeluk dirinya sendiri di tengah deru angin malam yang seperti menusuk tulangnya. Lama dia berjalan, tidak terasa sudah ratusan meter dia lalui. Dia sampai pada sebuah danau dan duduk di sebuah bangku panjang kosong di dekat sana. Beberapa pasang kekasih yang sedang menikmati pemandangan danau sempat mencuri perhatiannya. Tidak lama kemudian, terdengar suara klakson mobil kencang dari belakangnya. Irene pun berbalik dan melihat sebuah mobil hampir bertabrakan dengan sebuah motor. Mobil itu berisi rombongan laki-laki dan perempuan yang tertawa-tawa. Irene melihat bayangan sosok laki-laki yang dia sangat dia kenal di dalamnya. — Siang itu, Irene tidak berada di balik balkon depan kelasnya, melainkan duduk dengan kepala menindih lipatan tangannya di atas meja. Sudah empat hari ini, dia tidak ke luar kelas saat jam istirahat. Seringkali dia berharap agar sekolahnya berakhir lebih cepat, agar dirinya bisa pulang lebih cepat, bisa melupakan Ali lebih cepat. Akan tetapi, suatu siang, salah satu teman sekelasnya, Ghea, memanggilnya dari pintu kelas. Irene pun mengangkat kepalanya. “Dicariin Ali, nih,” serunya. Sontak seluruh siswa di kelas 3 IPA 1 menyerukan “CIE” secara bersamaan pada Irene. Gadis itu benar-benar tidak mau menemui Ali, namun seruan CIE itu terlalu mengganggunya. Akhirnya, Irene bangkit kemudian menemui Ali. Irene memberi gestur pada laki-laki itu untuk mengikutinya ke belakang kantin sekolah. Sesampainya di sana, tanpa basa-basi, Irene langsung berkata, “Kamu mau putus, kan?” Kedua mata Ali nampak membesar. “Kok, kamu—” “Kamu pikir, kamu bisa bohongin aku? Aku tau permainan kamu, Al. Kamu taruhan sama mereka, kalau kamu pasti bisa dapetin aku, kan?” seru Irene saat air matanya hampir jatuh ke pipinya. Ali terdiam, menenggak ludahnya sendiri. Dia menunduk saat hampir melihat air mata jatuh di pipi Irene. Kedua tangannya mengepal. Setelah memberanikan diri, dia pun berkata, “Tolong maafin aku, Ren.” “Kamu, tuh, jahat! Kamu manusia terjahat yang pernah aku temuin! Kamu pikir aku apa, Al? Kamu pikir aku cewek lemah yang bisa kamu sakitin gitu aja?” isak Irene. “Aku nggak nyangka ternyata kamu jahat.” “Aku minta maaf, Ren, aku emang jahat, tapi rasa suka aku ke kamu itu beneran.” “Aku nggak bodoh, Al!” “Emang aku yang bodoh, aku harusnya udah nembak kamu sejak dua tahun yang lalu!” Isak tangis Irene mendadak berhenti, diganti dengan ekspresi terkejut di wajahnya. Dia tidak percaya akan kalimat yang dia dengar barusan. Dia tidak bisa percaya. Satu jam yang lalu, Ali sudah membohonginya. “Aku selalu suka sama kamu sejak kita masih sekelas.” “Bohong!” “Aku nggak bohong, Ren!” “Terus kenapa kamu nggak nyatain perasaan kamu itu dari dulu? Kamu malu sama aku, kan? Aku nggak seaktif temen-temen cewek kamu, kamu takut kalau temen-temen kamu nggak suka sama aku. Iya, kan?!” Ali menunduk, diam seribu bahasa. Nampak raut kebingungan campur bersalah di wajahnya, namun kali ini Irene tidak mau tertipu lagi. Dia sudah cukup kecewa. Hatinya sudah terlalu sakit. Dia tidak mau luluh lagi cuma karena kata-kata atau ekspresi meyakinkan dari seorang Ali. Irene pun pergi meninggalkannya. Keesokan harinya, Irene masih menghabiskan jam istirahatnya dengan cara yang sama, yaitu menindih kepala pada kedua tangannya yang terlipat di atas meja. Namun kali ini, dia sambil mendengarkan musik melalui earphones agar pikirannya tidak terlalu berisik. Akan tetapi, beberapa saat kemudian, seseorang mencolek bahunya dan membuatnya terpaksa mengangkat kepala dan melepas salah satu earplug dari telinganya. Ghea lagi. “Ali manggil-manggil lo tuh di bawah!” “Tolong bilangin, Ghe, aku lagi sibuk.” “Irene, plis keluar! Aku mau ngomong sama kamu!” teriak Ali —yang sepertinya benar kata Ghea— dari lapangan. Irene langsung terkejut dan mematung. Suara Ali benar-benar kencang, sampai-sampai rasanya seluruh sekolah dapat mendengarnya. “IRENE AUDYA LESTARI!” Kedua mata Irene membesar, sempat terlena saat Ali menyebut nama panjangnya dengan baik. Namun, hal itu tidak membuatnya mau keluar kelas dan menemuinya. Alhasil, Ali terus menerus menyebut nama panjangnya dan itu semakin mengganggunya. Irene pun akhirnya keluar. “Irene! Aku mohon maafin aku!” teriak Ali segera saat dia lihat wajah Irene dari balik balkon. “Ke laut aja, kamu!” balas Irene, kemudian merenggut seplastik es teh dari seorang siswa yang berdiri di sebelahnya, kemudian melemparnya ke arah Ali. Ali berhasil menghindarinya, dan dia benar-benar memakluminya. “Aku nyesel, Ren. Aku nggak akan mainin kamu lagi, aku janji. Aku sengaja teriak-teriak gini supaya semua orang tau, kalau aku nggak malu jadi pacar kamu,” teriak Ali. “Aku sayang kamu, Irene.” Sontak seluruh siswa yang menyaksikan berteriak “CIE” berbarengan. Sementara itu, Irene sempat tertegun dengan raut wajah Ali yang melemah saat menyebut kalimat sakral itu. Akan tetapi, entah mengapa, Irene masih belum memercayainya. Sebaliknya, dia semakin sedih. Dia takut apa yang dilakukan Ali sekarang merupakan tak-tiknya yang lain. Air mata pun jatuh ke pipi Irene, saat gadis itu berlari memasuki kelasnya lagi. Ali memanggil-manggil nama gadis yang masih berstatus kekasihnya itu, namun tidak ada reaksi. Dia pun berlari menuju lantai atas. Para siswa lain nampak memberi jalan dan masih menjadi penonton. Saat memasuki kelas Irene, dia mendapati gadis itu sedang menangis, menutupi wajahnya di atas meja. “Ren, aku mohon, jangan nangis.” “Kamu apa-apaan, sih Al? Kenapa kamu terus-terusan giniin aku? Berapa uang yang kamu dapet dari mereka?” isak Irene saat akhirnya memandang Ali. “Ini bukan tentang mereka, Ren, ini tentang kita,” ujar Ali, berusaha untuk tenang. “Aku mau minta maaf, nggak cuma karena udah ngebohongin kamu, tapi juga udah ngediemin kamu selama hampir tiga tahun ini.” “Aku suka sama kamu sejak aku tau nama kamu, Ren, sejak kamu nyebut nama kamu di depan kelas waktu itu.” “Kamu inget, kan? Saat yang lain ngoceh banyak hal tentang diri mereka masing-masing, kamu berdiri cuma nyebut nama panjang kamu dengan malu-malu. Nama kamu itu yang akhirnya selalu aku inget.” “Aku selalu berusaha buat curi waktu ngobrol sama kamu, tapi kamu tertutup banget. Aku pikir bahkan kamu nggak suka sama aku.” Irene mengangkat kepalanya dari balik tangannya, sejenak tertegun dengan apa yang dia dengar barusan. “Kamu tau, nggak? Motivasi aku masuk IPA itu kamu, loh. Aku nanya Hilde, ternyata kamu mau masuk IPA. Yaudah aku juga ikut supaya bisa sekelas sama kamu. Eh, ternyata kita nggak sekelas juga.” Irene menoleh ke arah Ali dengan ekspresi yang sama. Benarkah apa yang Ali katakan? “Selama hampir tiga tahun ini, aku juga sering liat kamu nongkrong sendiri di balkon. Buat liatin aku, kan?” Irene memalingkan wajah, tersipu malu. Ali pun tertawa kecil melihatnya. “Yang kamu lakuin itu juga motivasi aku buat selalu mau main basket di lapangan.” Irene menunduk. Jantungnya berdebar-debar kencang. Dia tidak menyangka segalanya seperti sedang berputar. Apa yang dia rasakan selama ini berbalas dengan takaran yang sama, bahkan mungkin lebih. “Irene,” panggil Ali dengan suara yang lembut, sambil meraih kedua tangan kekasihnya. “Happy Anniversary 35 hari, ya!” Irene hanya tertawa kecil. “CIEE!!” The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar